Empat Pulau Jadi Rebutan, Yusril dan JK Berbeda Pandangan

Penulis: Hendra|Editor Tim Satu Redaksi|

Jakarta – Polemik terkait kepemilikan empat pulau di perbatasan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) hingga kini belum menemukan titik terang. Keempat pulau yang disengketakan tersebut adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

Polemik ini mencuat setelah terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menyatakan bahwa keempat pulau tersebut termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Keputusan ini menimbulkan kontroversi karena sebelumnya, keempat pulau itu dianggap sebagai bagian dari wilayah Aceh.

Pernyataan Mendagri tersebut menuai berbagai tanggapan dari tokoh nasional, salah satunya dari Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. Ia menyinggung pentingnya menilik kembali sejarah dan kesepakatan dalam Perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Perjanjian Helsinki merupakan kesepakatan yang mengatur perbatasan Aceh dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan kabupaten-kabupaten di dalamnya,” ujar Jusuf Kalla dalam pernyataannya.

Menurut JK, penyelesaian sengketa empat pulau tersebut tidak boleh lepas dari kerangka historis dan perjanjian politik antara Indonesia dan GAM. Namun, pendapat berbeda disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Yusril Ihza Mahendra.

Yusril menegaskan bahwa Perjanjian Helsinki tidak bisa dijadikan rujukan dalam menentukan status kepemilikan keempat pulau itu. Menurutnya, batas wilayah administratif baru mulai muncul pasca-reformasi, seiring pemekaran wilayah provinsi, kabupaten, dan kota.

“Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tidak secara spesifik menetapkan status empat pulau yang dipermasalahkan. Batas wilayah seperti yang kita kenal sekarang baru terbentuk setelah pemekaran daerah,” jelas Yusril.

Dengan perbedaan pandangan tersebut, penyelesaian polemik ini dinilai perlu pendekatan hukum yang lebih komprehensif dan keterlibatan para pemangku kepentingan dari kedua provinsi agar tidak menimbulkan gesekan sosial dan politik yang berkepanjangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *