Saturedaksi.com — Hubungan antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan China, kembali mengalami ketegangan serius di berbagai sektor—dari ekonomi, teknologi, hingga geopolitik. Banyak analis menyebut bahwa dunia kini tengah menyaksikan “Perang Dingin gaya baru”, meski tanpa dentuman senjata langsung seperti era AS-Uni Soviet dahulu.
Persaingan di Bidang Teknologi
Salah satu medan utama dalam rivalitas ini adalah teknologi. Pemerintah AS sejak 2019 telah memberlakukan sanksi terhadap raksasa teknologi China, Huawei, dengan alasan keamanan nasional. Selain itu, pembatasan ekspor chip semikonduktor canggih ke China juga telah diberlakukan, menandai strategi AS untuk memperlambat kemajuan teknologi Negeri Tirai Bambu.
China membalas dengan mempercepat program pengembangan teknologi dalam negeri seperti inisiatif “Made in China 2025” dan berinvestasi besar-besaran dalam kecerdasan buatan dan energi baru.
Ketegangan di Laut China Selatan dan Taiwan
Dari sisi militer dan geopolitik, Laut China Selatan dan Taiwan menjadi titik panas utama. China terus mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan, sementara AS rutin melakukan patroli kebebasan navigasi sebagai bentuk penolakan atas klaim tersebut.
Ketegangan makin meningkat setelah sejumlah kunjungan pejabat tinggi AS ke Taiwan yang dipandang Beijing sebagai pelanggaran prinsip “Satu China”. Sebagai respons, militer China melakukan latihan besar-besaran di sekitar Taiwan, meningkatkan risiko konflik terbuka di kawasan.
Blok Ekonomi dan Aliansi Strategis
Di bidang ekonomi dan diplomasi, kedua negara juga membentuk blok-blok pengaruh. AS memperkuat aliansi di kawasan Indo-Pasifik melalui kerjasama dengan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, India, dan Australia (dalam kerangka Quad dan AUKUS). Sementara itu, China memperluas pengaruhnya melalui proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang telah melibatkan lebih dari 140 negara.
Analisis: Perang Dingin, Tapi Tidak Sama
Berbeda dari Perang Dingin klasik, rivalitas China-AS saat ini berlangsung dalam dunia yang lebih terhubung secara ekonomi. Kedua negara saling bergantung, namun juga saling curiga. Para analis menyebutnya sebagai “perang sistem” antara demokrasi liberal dan otoritarianisme modern.
Dengan eskalasi di berbagai sektor, dunia kini menatap persaingan antara AS dan China dengan penuh kewaspadaan. Meskipun belum sampai pada tahap konflik militer langsung, intensitas ketegangan ini cukup untuk mengguncang stabilitas global dalam jangka panjang.
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.