Oleh: Abd Hamid, M.Pd, pendiri sekaligus Ketua DPD IMABA Unira 2014-2016, Korwil DPW IMABA Pamekasan 2017-2018, dan Ketum DPP IMABA 2018 – 2020
Dalam dunia pergerakan mahasiswa, pengabdian bukan sekadar aktivitas temporer yang berorientasi pada hasil instan, tetapi merupakan napas panjang perjuangan yang memuat nilai, misi, dan arah perubahan. Bagi Ikatan Mahasiswa Bata-Bata (IMABA), pengabdian bukan hanya soal hadir di tengah masyarakat, tetapi tentang bagaimana kehadiran itu mampu memberi makna dan menuntun transformasi. Karena itu, refleksi atas nilai pengabdian menjadi barometer penting dalam menakar kualitas dan arah kaderisasi IMABA ke depan.
Sejak resmi lahir pada 25 Januari 2005, IMABA telah memantapkan posisinya sebagai wadah perjuangan intelektual-santri yang tak hanya menjunjung tinggi nilai-nilai pesantren, tetapi juga bergerak dinamis di tengah tantangan zaman. Lahir dari rahim pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, IMABA membawa semangat khidmah sebagai identitas kultural sekaligus pijakan strategis untuk membangun peradaban yang lebih baik.
Khidmah — atau pelayanan tulus — menjadi ruh gerakan IMABA. Ia bukan sekadar jargon dalam sambutan pelantikan atau tema seminar, melainkan harus menjadi praktik yang hidup dalam setiap langkah kader: di lingkungan pesantren, kampus, maupun masyarakat luas. Di sinilah IMABA harus terus membangun narasi bahwa khidmah bukanlah simbol keterbelakangan, tetapi merupakan strategi luhur dalam mencetak pemimpin yang tangguh, rendah hati, dan berdampak luas.
Untuk menjadikan pengabdian sebagai kompas arah gerakan, IMABA perlu mengintegrasikan tiga pilar utama: religiusitas, akademis, dan transformasi sosial.
1. Religiusitas: Napas Perjuangan yang Membumi
Religiusitas adalah fondasi moral kader IMABA. Dalam bingkai nilai-nilai pesantren, kader IMABA tidak boleh tercerabut dari akar spiritualitasnya. Mereka harus menjadi agen perubahan yang berangkat dari akhlak, bukan semata ambisi. Dalam kesunyian malam santri, dalam keikhlasan khidmah kepada guru, lahir karakter-karakter kuat yang siap mengabdi dengan penuh integritas.
2. Akademis: Modal Intelektual sebagai Penopang Aksi
Khidmah yang cerdas tak cukup hanya bermodal niat baik. Ia harus ditopang dengan kemampuan analisis, literasi, dan wawasan luas. Penguatan tradisi diskusi, kajian kritis, serta budaya menulis dan membaca menjadi nadi utama gerakan intelektual IMABA. Dengan ini, pengabdian tidak lagi bersifat reaktif, tetapi menjadi tindakan strategis yang berbasis pengetahuan dan riset.
3. Transformasi Sosial: Manifestasi Nyata dari Khidmah
Wajah paling konkret dari khidmah IMABA adalah keterlibatan aktif dalam perubahan sosial. Pengabdian tidak boleh berhenti pada agenda seremonial, tetapi harus menyentuh sektor-sektor strategis: pendidikan, sosial, lingkungan, hingga pemberdayaan ekonomi umat. Kader IMABA harus tampil sebagai agen perubahan yang menyatu dengan denyut kebutuhan masyarakat, bukan sekadar pengamat dari kejauhan.
Kini, arah gerak IMABA haruslah jelas dan tegas: berkhidmah dengan visi dan aksi yang berdampak nyata. Artinya, setiap program kerja, agenda advokasi, hingga cara kader berkomunikasi harus diarahkan pada penguatan kebermanfaatan jangka panjang — bukan hanya bagi IMABA itu sendiri, tetapi lebih luas untuk pesantren, kampus, dan keummatan.
Saatnya kader IMABA bertanya pada diri sendiri:Apakah kehadiran saya hari ini menjadi penanda perubahan, atau sekadar pelengkap dalam barisan?
Sebab pada akhirnya, nilai pengabdian bukan diukur dari seberapa banyak kita berbicara, tetapi dari seberapa dalam jejak yang kita tinggalkan untuk generasi sesudahnya.