SatuRedaksi.com – Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Namun peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momen reflektif atas arah dan tujuan pendidikan kita. Di tengah revolusi digital yang mengubah pola hidup dan pola pikir, pendidikan dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana membentuk karakter generasi muda di tengah gempuran konten viral yang kerap kali miskin nilai.
Generasi saat ini—sering disebut sebagai generasi digital native—tumbuh dalam lanskap media sosial yang didominasi oleh konten cepat, dangkal, dan sensasional. Standar nilai yang dibentuk oleh jumlah “like”, “views”, atau “followers” kerap kali mengaburkan batas antara yang bermanfaat dan yang sekadar populer. Fenomena ini menandai pergeseran dari budaya literasi menuju budaya visual dan instan. Padahal, pendidikan nasional kita, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, secara tegas menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Di sinilah urgensi pendidikan karakter menjadi semakin nyata. Pendidikan karakter bukan sekadar pelajaran tambahan, melainkan inti dari proses pendidikan itu sendiri. Ki Hajar Dewantara dalam falsafahnya pernah mengatakan, “Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Menuntun berarti tidak memaksakan, tapi juga tidak membiarkan. Dalam konteks media sosial, ini berarti memberi bekal literasi digital yang cukup untuk menyaring informasi, membedakan fakta dan hoaks, serta membentuk integritas di tengah tekanan budaya viral.
Ajaran Islam juga memberikan landasan kuat mengenai pentingnya akhlak. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad, Hakim, dan Baihaqi)
Hadis ini menegaskan bahwa pembentukan karakter adalah misi utama kenabian. Maka, dalam konteks pendidikan modern, penguatan karakter peserta didik—terutama dalam menghadapi dunia digital—harus menempatkan nilai-nilai akhlakul karimah sebagai fondasi.
Hadis lainnya menyebut:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. Tirmidzi)
Ini menguatkan bahwa kualitas karakter seseorang menjadi indikator penting dalam keberhasilan pendidikan, lebih dari sekadar penguasaan ilmu pengetahuan.
Pemerintah sebenarnya telah menginisiasi beberapa langkah, seperti penguatan pendidikan karakter (PPK) dan program Merdeka Belajar. Namun implementasinya masih menghadapi tantangan, terutama dalam menghadirkan lingkungan belajar yang adaptif terhadap perkembangan digital. Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, perlu dibekali keterampilan literasi digital dan pedagogi kritis agar mampu mendampingi siswa dalam menavigasi dunia maya yang kompleks.
Selain itu, peran orang tua dan masyarakat juga sangat krusial. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Maka literasi digital tidak bisa dibebankan hanya pada sekolah. Kolaborasi lintas sektor diperlukan untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan mendukung pertumbuhan karakter.
Hardiknas 2025 harus menjadi titik balik: pendidikan tidak boleh sekadar mengejar angka, nilai, atau kurikulum, tetapi harus kembali pada esensinya sebagai alat peradaban. Media sosial bukan musuh, melainkan tantangan yang harus dijinakkan dan dimanfaatkan. Pendidikan harus hadir bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di layar ponsel.
Karena generasi emas Indonesia 2045 tidak akan lahir dari sekadar kecakapan akademik, tetapi dari pribadi yang tahan banting secara moral, bijak dalam bersikap, dan mampu menjadi pelita di tengah riuhnya dunia digital.